Siapa
saja yang berani membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) beserta ideologi Pancasila, makan akan secara langsung berhadapan dengan
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal tersebut menjadi tugas utama TNI sesuai dengan
Undang-Undang No.34 tahun 2004.
Menurut
buku "Kemal Idris
Bertarung dalam Revolusi", pasca peristiwa Gerakan 30
September 1965 yang didalangi oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), STABILITAS
NEGARA MENJADI GOYAH.
Muncul
desakan kepada Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, agar merombak
Kabinet Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Selain itu, para demonstran yang sebagian
besar adalah mahasiswa juga menuntut Bung Karno untuk segera membubarkan
PKI.
Tiga tuntutan kepada Bung
Karno dikenal dengan Tritura, atau Tri Tuntutan Rakyat. Seperti yang disebutkan
tadi, isi Tritura adalah pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan
Kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.
Salah satu tuntutan mahasiswa
adalah perombakan Kabinet Dwikora. Mahasiswa menganggap bahwa, Bung Karno masih
menempatkan sejumlah pejabat yang diduga adalah anggota PKI atau pun partai
yang berafiliasi dengan organisasi komunis tersebut.
Salah
satunya adalah Dr. Subandrio, yang saat itu diketahui adalah anggota Partai
Sosialis Indonesia. Partai Sosialis Indonesia diketahui juga berafiliasi dengan
PKI. Anggota sayap kiri Partai Sosialis Indonesia terlibat dalam Pemberontakan
PKI 1948 di Madiun.
Pada
akhir Februari 1966, Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat
(Kaskostrad), Brigjen TNI Kemal Idris, mengadakan pertemuan dengan Kolonel Inf.
Sarwo Edhie Wibowo, selaku Komandan Jenderal Resimen Para Komando Angkatan
Darat (RPKAD), yang sekarang menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Saat
itu, Kemal memberi perintah kepada Sarwo Edhie untuk mengerahkan pasukan RPKAD
untuk berjaga di sekeliling Istana Negara. Perintah Kemal selain untuk
mengawasi Subadrio yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Kabinet
Dwikora III.
Tak
hanya itu, pasukan RPKAD yang dikerahkan ke Istana Negara juga tak lain adalah
untuk melindungi mahasiswa demonstran. Kemal menginstruksikan kepada Sarwo
Edhie agar pasukannya melindungi demonstran, pasca kematian Arif Rahman Hakim,
mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang tewas ditembak pasukan yang berjaga
di Istana Negara.
Para
anggota RPKAD tersebut berjaga di sekitar Istana Negara, dengan Pakaian Dinas
Lapangan (PDL) khusus infanteri. Namun demikian, para anggota Korps Baret Merah
ini sama sekali tidak memakai tanda pengenal.
Meski
ada tentangan dari Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jayakarta/Jaya,
yang saat itu bernama Kodam V/Jaya, Brigjen TNI Amir Machmud, dan Pangkostrad,
Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah, pasukan RPKAD tetap ditempatkan di sekitar
Istana Negara.
Komentar
Posting Komentar