LATAR BELAKANG
Menganalisis karya fiksi merupakan salah satu cara untuk memahami
dengan jelas apa yang terkandung di dalam karya itu sendiri. Karena
bagaimanapun juga, karya fiksi merupakan proses pemikiran seorang
pengarang yang belum tentu dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca
apa maksud yang disampaikannya. Dengan menganalisisnya, kesalahpahaman
maksud yang ditujukan dari pengarang kepada pembaca tentu dapat
dihindari. Sehingga suatu karya fiksi akan dapat dinikmati dengan
mengutamakan tujuan adanya karya fiksi itu sendiri.
Untuk menghindari pembahasan supaya tidak melebar, oleh karenanya
pembahasan kali ini hanya dibatasi perihal penokohan dan alur yang ada
di dalam suatu karya fiksi. Penokohan dan alur merupakan salah satu cara
yang digunakan pengarang untuk memberi kesan menarik pada karyanya.
Oleh karena itu, saya selaku penganalisis memilih kedua hal tersebut.
PEMBAHASAN
1. PENOKOHAN
Penokohan Dan Hubungannya Dengan Tema Dan Setting Cerita
Penokohan merupakan salah satu faktor terpenting dalam sebuah cerita
fiksi. Setiap karya fiksi otomatis terdapat tokoh di dalamnya. Terdapat
dua macam jenis tokoh dalam setiap karya fiksi menurut keterlibatannya
terhadap karya fiksi itu sendiri, yaitu tokoh utama (sentral) dan tokoh
penunjang (periferal) (Sayuti, 2009:6.6). Cara menentukan yang mana
tokoh utama dan yang mana tokoh penunjang adalah dengan membandingkan
setiap tokoh di dalam cerita. Adapun kriteria tokoh utama adalah:
bertindak sebagai pusat pembicaraan dan sering diceritakan, sebagai
pihak yang paling dekat kaitannya dengan tema cerita, dan lebih sering
melakukan interaksi dengan tokoh lain dalam cerita (Sayuti, 2009:6.6).
Seperti pada kutipan di awah ini:
Tiba-tiba tampak olehnya pisau belati di sisi Mansur. Darahnya
berdebar-debar dan gusarnyapun timbul kembali. Tak percaya ia akan janji
saudaranya tadi. Sebab itulah berkata ia: “Kakak, pisau itu baiklah
Minah sembunyikan. Minah sebenarnya belum begitu percaya. Hendaklah kita
awas sebelum terjadi!”
Mansur tak mengeluarkan kata sepatah juapun.
Laminah mengambil pisau belati itu dari pinggang saudaranya dan diletakannya di bawah bantal.
Tokeh pada ketika itu sedang makan. Mansur dan Laminah menunggu dimuka pintu dapur.
(STA. Tak Putus Dirundung Malang. Hlm. 128)
Dari kutipan di atas kita bisa menilai bahwa tokoh utamanya adalah
Mansur. Kenapa? Karena Mansur merupakan inti pembicaraan di atas.
Potongan cerita tersebut ada setelah terjadi perselisihan antara Mansur
dengan salah satu pegawai di tempat ia bekerja. Mansur hendak memberi
pelajaran kepada orang tersebut, karena ia telah berbuat macam-macam
terhadap adiknya. Jadi, sangat jelas inti permasalahnnya ada pada Mansur
sendiri. Ia menjadi pusat pembicaraan pada potongan cerita tersebut dan
umumnya pada novel tersebut.
Cara Penggambaran Tokoh
a. Metode Diskursif
Artinya penggambaran tokoh dijelaskan secara langsung oleh pengarang.
Dengan cara menyebutkan ciri-cirinya, sifat-sifatnya, status, dan
sebagainya, tanpa melinatkan tokoh lain. Seperti yang terdapat pada
kutipan Novel Sekali Peristiwa Di Banten selatan:
Dua orang pemikul singkong, yang hendak menuju ke tempak truk-truk
dari kota memunggah singkong, muncul dari tikungan jalan. Bawaannya
begitu beratnya sehingga pikulan mereka Nampak melengkung. Kedua-duanya
bercelana hitam sedikit di bawah lutut. Mengikatkan sarung pada pinggang
masing-masing dan bertopi capio, sedang pada pinggang mereka tersandang
kasang dari bambu anyaman.
(hlm. 12)
b. Metode Dramatis
Artinya penggambaran tokoh dijelaskan tidak secara langsung dari
pengarang, melainkan dengan cara berbicara tokoh itu sendiri,
perbuatannya, pemikiran tokoh lain yang bersangkutan, dan lain
sebagainya. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui potongan cerita di
bawah ini:
Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang
sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya pias. Dahinya yang kukuh
basah oleh keringat, berkilat-kilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi
seluruh kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. Ia
lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apapun, Arai selalu
menyedihkan. ………………………………………………………………………………………………………………….
(Andrea Hirata. Sang Pemimpi. Hlm. 2)
Pengarang berusaha menggambarkan tokoh lain dalam cerita melalui
tokoh “Aku”. Sangat jelas disebutkan bahwa keadaan fisik salah satu
temannya—Jimbrong—tidak sepertihalnya orang normal. Salah satu kakinya
melebihi panjang kakinya yang lain. Selain itu, ia juga menjelaskan
watak tokoh lainnya—Arai. Ia bisa menyimpulkan bahwa temannya yang ini
selalu terlihat selalu tegang dan ketakutan ketika dalam keadaan
tersudutkan. Dibuktikan melelui tindakannya yang muntah ketika dalam
keadaan tersudutkan.
c. Metode Campuran
Artinya penggambaran tokoh menggunakan dua cara sekaligus, secara
langsung dari pengarang itu sendiri ataupun melalui tokoh lain. Hal
tersebut bisa dicermati pada kutipan di bawah ini:
… Mbok Ralem keluar sambil membopong anaknya yang pucat dan batuk.
Perempuan itu terkejut melihat siapa yang datang. Darah lenyap dari
wajahnya, bibirnya bergetar. Pambudi duduk di balai-balai bambu.
“Mob Ralem, kau tak perlu takut seperti itu.”
“Anu, anu… anu, Nak.”
“Anu apa, Mbok?”
“Aku takut kau membawa perintah dari Lurah untuk menghukumku. Kemarin
dulu sebelum aku meninggalkan Balai Desa kudengar Pak Lurah marah-marah.
Pastilah gara-gara aku, bukan?”
(Ahmad Tohari. Di Bawa Kaki Bukit Cibalak. Hlm. 29)
Dari kutipan di atas kita bisa melihat bagaimana pengarang
menggunakan kedua metode dalam menggambarkan tokohnya. Metode yang
pertama yaitu, Metode Diskursif. Hal tersebut dapat diketahui melalui
potongan cerita langsung dari pengarang, “Perempuan itu terkejut melihat
siapa yang datang. Darah lenyap dari wajahnya, bibirnya bergetar”, yang
menunjukan keadaan Mbok Ralem yang takut akan kedatangan Pambudi.
Keadaan tersebut diperkuat dengan dialog yang terjadi antara Pambudi dan
Mbok Ralem sendiri yang menyatakan kalau Mbok Ralem sedang ketakutan.
Artinya, pengarang merasa kurang puas ketika hanya menggambarkan kondisi
tokoh di dalam ceritanya melalui tuturannya secara langsung. Pengarang
mencoba menyakinkan bagaimana keadaan tokoh dalam ceritanya dengan
menggunakan pandangan atau pemikiran tokoh lain dalam cerita tersebut.
Perwatakan tokoh biasanya terikat pada tema dan setting cerita
dalam sebuah karya fiksi. Jika ceritanya bertemakan perjuangan zaman
penjajahan, otomatis tokoh protagonisnya juga akan berwatak seorang
pejuang yang penuh semangat, pembarani, memiliki pemikiran matang dan
progresif. Begitupun sebaliknya, tokoh antagonisnya pun tentu bersifat
lebih berani dan lebih kejam dari pada cerita-cerita fiksi yang
bertemakan romantisme. Jika tema dan settingnya tentang kehidupan
sehari-hari yang lebih cenderung menitikberatkan pada segi romantisme,
tokoh pada karya fiksinya juga berwatakkan sepertihalnya orang-orang
baik pada umumnya (stereotip), ramah tamah, suka menolong. Dan
sebaliknya pula, tokoh antagonisnya akan lebih lemah kadar
keantagonisannya jika dibandingkan dengan tokoh antagonis pada karya
fiksi yang bertemakan perjuangan. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan novel berikut ini:
“Ya. Tetapi kita mesti menang.”
“Belanda berkata begitu pula. Tidak bisakah didapat penyelesaian yang lain? Di mana kita dan Belanda sama-sama menang?”
“Maksudmu?”
“Penyelesaian kalah dan menang untuk sesuatu pihak bukan penyelesaian
yang sebenarnya. Itu hanya penyelesaian sementara. Sementara yang kalah
tetap lemah dari yang menang. Tetapi jika yang kalah telah merasa kuat
lagi untuk melawan, pasti dia akan bangun dan tegak dan melawan kembali.
Dan semua akan berulang kembali, hingga ada pula yang menang dan yang
kalah. Tidak bisakah didapat penyelesaian di mana kedua belah pihak
menang? Maksudku kemenangan nilai-nilai manusia. Kemenangan pikiran dan
perasaan manusia. Kemenangan manusia melawan nafsu kasar dirinya
sendiri. Kemenangan kebaikan melawan kejahatan.”
(Mochtar Lubis. Tidak Ada Esok. Hlm. 180-181)
Pernyataan mengenai keterikatan tokoh dengan tema juga dapat
dilihat pada Novel Laskar Pelangi. Suasana yang ada pada novel tersebut
adalah suasana perjuangan dalam hal pendidikan. Itu dibuktikan dengan
pernyataan tokoh utama “Aku” yang menggambarkan rasa semangat
teman-temannya dalam hal pendidikan, seperti pada kutipan di bawah ini:
Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan
arus listrik dengan menggerak-gerakkan magnet secara mekanik dan
menjelaskan prinsip-prinsip kerja dinamo. Mahar memperagakan cara
membuat sketsa-sketsa kartun dan cara menyusun alur cerita bergambar.
Lintang menjelaskan aplikasi geometri dan aerodinamika dalam mendesain
layangan, Mahar menceritakan kisah yang memuakau tentang bangsa-bangsa
yang punah. Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca yang
dibentuk cekung seperti parabola dan menghadapkannya ke arah matahari
agar mendapatkan suhu yang sangat tinggi, rancangan energi matahari
katanya.
Sebaliknya Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan
mendemonstrasikan seni membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis
gerabah itu dan mewarnainya. Lintang memperagakan cara kerja sekstan
dan menjelaskan beberapa perhitungan matematika geometris dengan alat
itu, Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri dengan judul Doa dan
dibawakan secara memukau dengan gaya tilawatil Qur’an, belum pernah aku
melihat orang membaca puisi seperti itu.
(Hlm. 141-142)
Aktifitas yang dilakukan teman-teman Ikal menunjukan bahwa mereka
sangat bersemangat dalam menuntut ilmu. Keadaan ekonomi dan sebagainya
tidak mempengaruhi keseriusan mereka. Bahkan, mereka bisa membuktikan
kalau mereka juga bisa seperti anak-anak lain yang lebih beruntung dalam
hal menuntut ilmu. Lintang dengan kemampuan dalam bidang eksaknya,
Mahar dalam bidang seni dan sastranya mampu membuka mata pembaca
bahwasannya keadaan ekonomi tidak mempengaruhi semangat belajar mereka.
Kutipan kedua novel di atas menjelaskan bahwa tokoh protagonis adalah
tokoh yang tidak mengenal sifat-sifat yang dimiliki tokoh antagonis.
Tokoh-tokoh protagonisnya bersifat sepertihalnya pahlawan menurut
konteks temanya masing-masing, tokoh utamanya pada khususnya. Memang
terlihat wajar ketika berbicara tentang karya fiksi. Akan tetapi, hal
tersebut berkesan berlebihan jika melihat realita yang ada.
Lain halnya dengan kedua novel di atas, Novel Kubah karya Ahmad Tohari
justru memberi kesan lain terhadap tokoh utamanya. Karman—tokoh utama
dalam Novel Kubah—memang memiliki sifat yang baik. Akan tetapi, pada
bagian tertentu ia berubah seolah-olah menjadi tokoh antagonis. Sifatnya
mudah terpengaruh, emosional, dan pendendam. Hal tersebut dibuktikan
dengan potongan cerita di bawah ini:
“Paman, aku tak mungkin berbaik kembali dengan Haji Bakir, bukan
karena hanya soal Rifah. Masih banyak alas an lagi bagiku untuk bersikap
seperti itu.”
“Lho… Kenapa?”
“Karena bersikap baik terhadap haji itu sudah tak perlu lagi. Kalau Haji
Bakir merasa telah berbuat kebajikan padaku, ia telah memperoleh
kembali imbalan yang lebih.”
(Hlm. 96)
Dialog tersebut terjadi antara Karman dan Hasyim, pamannya. Ketika itu
Karman merasa telah dibodohi oleh Haji Bakir. Ia merasa diperalat
olehnya. Selain itu, ia juga harus menerima kenyataan bahwa Rifah (anak
Haji Bakir)—perempuan yang ia cintai—dijodohkan dengan pria lain. Pada
saat itu ia juga sedang dihasut oleh pemikiran-pemikiran PKI supaya
tidak mempercayai orang-orang seperti Haji Bakir, yang pada dasarnya
merekalah yang menghasut Karman. Sehingga Karman akhirnya memutuskan
untuk membenci Haji Bakir dan keluarganya. Pembaca seolah-olah
bertanya-tanya, “Masa tokoh utama ikut bergabung dan mengembangkan faham
PKI yang ditentang bangsa kita? Masa tokoh utama pendendam, dan
sebagainya?”
Sebenarnya, pada saat itulah pengarang menggunakan sisi kewajarannya
dalam memberi perwatakan terhadap tokoh utama pada novel yang dimaksud.
Ia seperti berpesan kepada pembaca bahwa manusia juga memiliki
kekhilafan, tidak melulu benar. Artinya, sifat antagonis sementara tokoh
utamanya terjadi karena ia memiliki sifat mudah dipengaruhi. Atau
mungkin bisa saja pengarang sengaja menjadikan tokoh utama berkesan
seperti tokoh antagonis untuk menjadikan konflik yang ada menjadi lebih
menarik dan tidak bisa ditebak oleh pembaca. Sehingga memancing emosi
pembaca untuk mengetahui lanjutan ceritanya.
Hal yang sama juga digunakan oleh STA dalam karya fiksinya yang
berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Pada beberapa bagian ceritanya, ia
memberi kesan lain terhadap Mansur, tokoh utama dalam karya fiksi
tersebut. Seperti pada potongan cerita berikut ini:
Seketika diam ia. Terasa olehnya, bahwa perkataannya itu tak keluar
dari sanubarinya. Sebab itulah ia berkata pula: “Tetapi sebaik-baiknya
orang yang seruapa itu diajar benar-benar sampai ia jera untuk seumur
hidupnya. Jangan ia menyangka, bahwa di dunia ini semuanya dapat
dikerjakannya sekehendak hatinya. Cobalah lihat! Kalau didiam-diamkan,
sedikit hari lagi semuanya itu diulangnya pula, tak pada kita, pada
orang lain.”
(Hlm. 126-127)
Keadaan tersebut terjadi ketika Laminah (adik Mansur) diperlakukan
tidak wajar oleh Sarmin, salah seorang pekerja di tempat ia bekerja.
Mendengar adiknya diperlakukan demikian, Mansur hendak memberi pelajaran
terhadap Sarmin. Padahal adiknya melarangnya untuk melupakan hal
tersebut. Kondisi tersebut tentu mejadikan pembaca memberi apresiasi
negatif terhadap Mansur, meskipun ia bertindak sebagai tokoh utama.
Mansur seolah-olah berubah menjadi seorang yang pendendam dan hendak
memutuskan suatu perkara tanpa memperhitungkannya terlebih dahulu.
Tentunya sifat demikian sangat kontras dengan sifat seorang tokoh
protagonis. Akan tetapi, pengarang mampu menjadikan pertentangan sifat
tokoh protagonis tersebut menjadi gambaran mengenai konflik batin yang
dialami tokoh utamanya.
2. ALUR/PLOT
Penggunaan Alur Sebagai Permainan Olah Pikir
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan
hubungan kausalitas. Secara garis besar alur dibagi dalam tiga bagian,
yaitu awal, tengah, dan akhir (Sayuti, 2000). Akan tetapi, dalam
kenyataannya alur dalam sebuah karya fiksi disusun berdasarkan pilihan
pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, awal alur tidak harus merupakan
awal cerita. Tergantung bagaimana pengarang memposisikan dan
memainkannya.
1. Awal
Bagian awal dari sebuah alur biasanya merupakan bagian pengenalan
cerita. Biasanya berisikan mengenai pengenalan watak tokoh dan setting
cerita yang bersifat Eksposisi dan element instabilitas (Sayuti,
2009:7.8). Sepertihalnya potongan cerita dalam sebuah karya fiksi di
bawah ini:
Langit bermendung.udara berwarna kelabu. Dari jarak dekat,
pegunungan di depan desa itu, yang dirimbuni berbagai pepohonan hutan,
berwarna kelabu hitam. Antara sebentar terdengar cericip burung
kedinginan. Kadang-kadang angin menderu keras membawa bunyi sayup
deburan Laut Hindia. Gemericik air kali membanjir yang membanting diri
di antara batu-batu gunung besar tak henti-hentinya menggema, serta
hempasan arus derasnya pada tebing-tebing yang terbuat dari beton alam
antara sebentar terdengar menjompak-jompak ngilu.
(Pramoedya Ananta Toer. Sekali Peristiwa Di Banten Selatan. Hlm. 11)
Dari kutipan cerita di atas sangat jelas sekali bahwa pengarang
membuka cerita dengan terlebih dahulu memaparkan setting yang ada pada
cerita tersebut. Pengarang memberikan informasi kepada pembaca
bahwasannya seperti itulah keadaan Banten Selatan pada saat itu. Akan
tetapi, tidak ada unsure instabilitas di dalamnya. Karena pembuka cerita
tersebut hanya bersifat memaparkan sesuatu yang pasti, tentunya tidak
memiliki kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi.
Lain halnya dengan karya fiksi di atas, karya fiksi Pram yang lain,
Larasati justru menggunakan konflik cerita sebagai pembukanya. Berikut
adalah contoh kutipannya:
Setelah mendapat tempat di pojok, kapten itu mendekatkan bibirnya
pada kupingnya, berbisik perlahan penuh perasaan, “Aku memang banyak
bersalah, Ara.” Ia tak begitu yakin akan suaranya.
Mulutnya kian didekatkan dan suaranya dikeraskan, “Tapi kau pun bukan terkecuali. Kau juga banyak bersalah padaku.”
(Hlm. 7)
Pembuka cerita di atas menjelaskan mengenai sebagian konflik yang
dialami tokoh utama, Ara. Sang opsir berusaha menjelaskan kesalahpahaman
yang terjadi antara mereka berdua. Kemudian dilanjutkan usaha sang
opsir meyakinkan Ara supaya ia tidak melupakan terhadap apa yang telah
terjadi antara mereka berdua. Padahal Ara sudah memberikan kesan muak
terhadap orang tersebut. Konflik batin dalam diri Ara digunakan
pengarang sebagai awal cerita. Pada awal cerita inilah elemen
instabilitas muncul, dimana aka nada kemungkinan lain yang terjadi, Ara
akan terus mengingat akan tokoh opsir atau justru melupakannya.
2. Tengah
Tengah cerita berisikan konflik di dalamnya. Dari penyebab konflik
sampai puncak dari konflik tersebut. Akan tetapi, penyebab konflik juga
terkadang ditempatkan diawal cerita bagian akhir. Hal tersebut digunakan
untuk memberi kesan keterikatan antara awal cerita dengan bagian
tengahnya, sehingga tidak berkesan tidak nyambung. Konflik dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu konflik batin (tokoh dengan dirinya sendiri),
konflik sosial (tokoh dengan tokoh lain), dan konflik alamiah (tokoh
dengan alam dan lingkungan sekitar) (Sayuti, 2009:7.10). Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan tengah cerita berisikan pengenalan mengenai
setting, watak tokoh, dan penyebab konflik utama. Semua itu tergantung
bagaimana cara pengarang memainkan alur.
Untuk memberikan penjelasan mengenai tengah cerita yang tidak melulu
berisikan konflik. Berikut adalah dua kutipan cerita yang memiliki
perbedaan isi pada cerita bagian tengahnya:
“Ah,” jawab Laminah dengan suara yang sedih, “sekarang semuanya itu
Minah serahkan pada ikhtiar kakak; kalau begini rasanya takkan sanggup
lagi Minah tinggal di negeri Ketahun ini. Dari pada hidup dengan serupa
ini, umpan kaki tangan orang setiap hari, pada perasaan Minah, lebih
baik mati sekali …”
(STA. Tak Putus Dirundung Malang. Hlm. 61)
Dalam wilayah Kecamatan Kokosan, desa Pegaten letaknya paling terpencil.
Di sebelah selatan terdapat hutan jati yang luas. Sementara bagian
barat dibatasi perkebunan karet dan rawa-rawa. Tanah sawah serta
ladangnya subur. Kalaulah sebagian penduduknya hidup miskin, pastilah
bukann keadaan tanah Pegaten yang menyebabkannya. …
(Ahmad Tohari. Kubah. Hlm. 122)
Kedua kutipan di atas memberikan penjelasan mengenai perbedaan isi
tengah ceritanya. Novel Tak Putus Dirundung Malang berisikan mengenai
konflik yang terjadi antara tokoh utama Karman dan Minah dengan
pamannya, Madang. Konflik itu terjadi ketika perlakuan Madang terhadap
mereka semakin hari semakin keras. Sehingga mereka memutuskan untuk
pergi meninggalkan rumah pamannya itu dan hendak mencari tempa tinggal
lain. Sementara Novel Kubah, pada tengah ceritanya terdapat potongan
cerita yang masih menggambarkan bagaimana keadaan kampungnya, Pegaten.
Penjelasan singkat itu kemudian menjadi awal untuk masuk ke dalam
konflik yang ada di dalamnya.
3. Akhir
Akhir cerita merupakan bagian penyelesaian semua konflik yang ada di
dalam karya fiksi. Pada bagian akhir pula biasanya dapat disimpulkan
sebuah karya fiksi tersebut merupakan karya yang bersifat happy ending
atau tidak. Selain itu, pada akhir juga biasanya pengarang memberikan
penggambaran kembali mengenai settingnya, yang tentunya telah mengalami
perubahan akibat konflik yang ada. Atau terkadang berisi kesimpulan
mengenai tema yang diceritakan.
Penggunaan alur merupakan salah satu hal yang sangat menentukan
apakah cerita itu menarik atau tidak. Cerita-cerita yang menarik
biasanya menggunakan alur yang beragam dan posisinya acak. Sehingga
pembaca harus memutar otak kembali untuk mengait-kaitkan antara konflik
yang satu dengan konflik yang lain, antara penyebab konflik dengan
penyelesaiannya, dan sebaginya. Hal tersebut biasanya menjadikan pembaca
merasa bingung jika pengarang tidak pintar-pintar meramunya menjadi
sesuatu yang menarik tapi mudah dicerna. Karena bagaimanapun juga karya
sastra dinilai bagus atau tidak tergantung penilaian pembaca dan
penikmatnya.
Daftar Pustaka
Alisjahbana, Sutan Takdir. 2008. Tak Putus Dirundung Malang. Jakarta: Dian Rakyat.
Hirata, Andrea. 2008. Sang Pemimpi. Jakarta: Bentang.
Sayuti, Suminto A. 2009. Cerita Rekaan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Toer, Pramoedya Ananta. 2009. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara
____________________ 2009. Sekali Peristiwa Di Banten Selatan. Jakarta: Lentera Dipantara.
Tohari, Ahmad. 2005. Kubah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
____________ 2005. Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
Komentar
Posting Komentar